Bulan Sya’ban dalam Kalender Hijriah adalah bulan sebelum datangnya Bulan Ramadhan. Oleh masyarakat Jawa disebut juga dengan Sasi/wulan Ruwah. Disebut sebagai Sasi Ruwah karena ada yang menyebut bahwa pada bulan ini merupakan waktu yang sangat tepat jika manusia yang masih hidup di dunia ini memanjatkan doa agar arwah yang telah mendahului diberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Selain itu ada pula yang meyakini bahwa bulan Ruwah adalah saat turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia, hal ini lebih sering disebut dengan istilah mudhunan dan munggahan. Karena itulah masyarakat Jawa mengenal tradisi yang bernama “nyekar” dan/atau “nyadran”.
Disebut nyekar karena sebagaimana kata sekar yang berarti kembang/bunga, maka definisinya adalah sebagai satu bentuk tradisi pengiriman bunga yang ditujukan kepada nenek moyang dan arwah leluhur yang telah mendahului kita. Sementara nyadran, adalah satu bentuk tradisi layaknya kenduri, yaitu sama-sama menggunakan uba-rampe (sarana) tertentu yang biasanya berwujud makanan (besekan), hanya saja yang membedakan dengan kenduri biasa adalah mengenai pengambilan lokasi yang biasanya dianggap keramat dan dipercaya masyarakat lokal bisa makin mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Biasanya pengambilan lokasi itu berupa makam leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Sementara makanan yang biasanya selalu ada adalah ketan, kolak, serta apem.
Pada Bulan Ruwah, tradisi nyekar mungkin bisa dilakukan tanpa ada ketentuan waktu pelaksanaannya, jadi selama masih pada bulan Ruwah maka tak ada larangan untuk melaksanakannya. Agak lain halnya dengan tradisi nyadran, karena melibatkan banyak orang maka tradisi nyadran ini biasanya dilaksanakan berdasar waktu yang sudah ditentukan secara turun temurun. Waktu pelaksanaan nyadran biasanya dipilih pada tanggal 15, 20, dan 23 bulan Ruwah.
Menurut sejarahnya, nyadran adalah sebuah kata berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau kepercayaan. Tradisi ini awalnya timbul sejak jaman Majapahit dimana Ratu ketiga kerajaan Majapahit, yaitu Tribuwana Tunggadewi berkeinginan pergi ke pengabuan Ibunya (Sri Gayatri) di Candi Jago guna mengirim doa. Dan ternyata pada masa Walisanga tradisi ini masih bisa dilanjutkan karena masih dalam wacana berziarah dan mendoakan orang tua.
Persamaan dari nyekar dan nyadran terletak pada inti pelaksanaannya, yaitu untuk berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dengan cara berziarah kubur. Selain itu, dengan berziarah kubur kita turut mendoakan arwah para leluhur yang telah tiada agar memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya dan diampuni segala kesalahannya sewaktu di dunia. Bagi manusia yang masih hidup, manfaat ziarah kubur adalah untuk mengingat tujuan akhir hidup di dunia ini, agar kita dapat membekali diri dengan amal yang baik karena kelak kita akan menyusul para leluhur.
Mengenai detail pelaksanaan nyekar dan nyadran adalah tradisi yang diwariskan turun-temurun. Biasanya masing-masing elemen memiliki makna filosofis tersendiri, seperti kue apem pada tradisi nyadran berasal dari kata ‘afwan yang berarti minta maaf untuk membersihkan dosa sebelum pelaksanaan ibadah Bulan Ramadhan. Maka, bila saat ini ada pembaca yang menganggap bahwa tradisi nyekar/nyadran adalah syirik dan mengada-ada, maka itu adalah hal yang wajar. Karena tradisi ini adalah warisan leluhur yang oleh Walisanga diasimilasikan dengan ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar